RA. Kartini; Pribadi, Pemikiran dan Kehidupannya merupakan jejak perjuangan Emansipasi Wanita. Melalui Surat
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tanggal 2 Mei 1964 Pemerintah
Republik Indonesia menganugerahi Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional serta
menjadikan tanggal 21 April sebagai hari Kartini.
Tentang Kepedulian Kartini pada Rakyatnya
R.A. Kartini dianugerahi gelar tersebut bukan karena sebab.
Akan tetapi lebih dikarenakan atas pemikirannya
yang luar biasa. Yakni atas pemikirannya mengenai ketertindasan yang dialami
kaum perempuan pada jaman dahulu dari berbagai aspek. Ia banyak menyampaikan
pemikiran tersebut dengan saling mengirim surat dengan teman-temannya yang berasal
dari Belanda.
Berikut ini beberapa penggalan Surat R.A. Kartini dalam buku
Door Duisternis Tot Licht (DDTL) atau
dalam terjemahan bahasa Indonesianya Habis Gelap Terbitlah Terang:
“… dan kami
yakin seyakin-yakinnya bahwa air mata kami, yang kini nampaknya mengalir
sia-sia itu akan ikut menumbuhkan benih yang akan mekar menjadi bunga-bunga
yang akan menyehatkan generasi-generasi mendatang.” (Surat R.A.
Kartini kepada Ny. Abendanon 15 Juli 1902-DDTL, hal. 214)
“… andaikata aku
jatuh di tengah-tengah perjalananku, aku akan mati bahagia, sebab bagaimanapun
jalannya telah terbuka, dan aku telah ikut membantu membuka jalan itu yang
menuju kepada kemerdekaan dan kebebasan Wanita Jawa (*baca: wanita Indonesia)” -
DDTL halaman 81
“Aku masih melihat
senyumnya yang membuat raut mukanya bercahaya ketika ia berkata: Ah, ibu, aku
mau hidup 100 tahun. Hidup ini terlalu pendek. Pekerjaan banyak sekali
menunggu. Dan sekarang aku bahkan belum boleh memulai.” (R.A. Kartini
kepada Nyonya Marie Ovink-Soer, yang sudah dianggap ibu oleh Kartini,
sebagaimana ditulis Nyonya Marie dalam bukunya: Persoonlijke Herinnering an
R.A. Kartini)
“Teman-teman saya di
sini mengatakan agar sebaiknya kami tidur saja barang 100 tahun. Kalau kami
bangun nanti, kami baru akan tiba pada jaman yang baik. Jawa (*baca: Indonesia)
pada saat itu sudah begitu majunya kami temukan, seperti apa yang selalu kami
inginkan.” (Surat R.A. Kartini kepada Stella Zeehandelaar, 6 November
1899)
Tentang Kartini
setelah Dipingit
“Gadis itu kini telah
berusia 12,5 tahun. Waktu telah tiba baginya untuk mengucap selamat tinggal
pada masa kanak-kanak. Dan meninggalkan bangku sekolah, tempat dimana ia ingin
terus tinggal. Meninggalkan sahabat-sahabat Eropah-nya, di tengah mana ia
selalu ingin terus berada.
Ia tahu, sangat tahu
bahkan, pintu sekolah yang memberinya kesenangan yang tak berkeputusan telah
tertutup baginya. Berpisah dengan gurunya yang telah mengucap kata perpisahan
yang begitu manis. Berpisah dengan teman-teman yang menjabat tangannya
erat-erat dengan air mata berlinangan.
Dengan menangis-nangis
ia memohon kepada ayahnya agar diijinkan untuk turut bersama abang-abangnya
meneruskan sekolah ke HBS di Semarang. Ia berjanji akan belajar sekuat tenaga
agar tidak mengecewakan orang tuanya. Ia berlutut dan menatap wajah ayahnya.
Dengan berdebar-debar ia menanti jawab ayahnya yang kemudian dengan penuh kasih
sayang membelai rambutnya yang hitam.
‘Tidak!’ jawab ayahnya
lirih dan tegas.
Ia terperanjat. Ia
tahu apa arti ‘tidak’ dari ayahnya.
Ia berlari. Ia
bersembunyi di kolong tempat tidur. Ia hanya ingin sendiri dengan kesedihannya.
Dan menangis tak
berkeputusan.
Telah berlalu!
Semuanya telah berlalu! Pintu sekolah telah tertutup di belakangnya dan rumah
ayah menerimanya dengan penuh kasih sayang. Rumah itu besar. Halamannya pun
luas sekali. Tetapi begitu tebal dan tinggi tembok yang mengelilinginya.”
Tentang Kartini
Menyuarakan Nuraninya yang Merujit Terhimpit Kungkungan Tembok Pingitan
“Sahabat-sahabat ayah
yang berbangsa Eropah - ini saya ketahui lama kemudian - telah dengan susah
payah mencoba mempengaruhi orang tuaku agar mengubah keputusannya untuk
memingit aku yang begitu muda dan begitu penuh gairah hidup ini. Tapi orang
tuaku tetap teguh dengan keputusannya. Dan aku tetap dalam kurunganku. Empat
tahun yang panjang telah kutempuh dalam kungkungan empat tembok yang tebal
tanpa sedikit pun melihat dunia luar. Bagaimana aku dapat melaluinya, aku
tak tahu lagi. Aku hanya tahu bahwa itu MENGERIKAN.”
“Ketahuilah bahwa adat
negeri kami melarang keras gadis2 keluar rumah. Ketika saya berusia 12 tahun
lalu saya ditahan di rumah; saya mesti masuk tutupan, saya dikurung di dalam
rumah seorang diri sunyi senyap terasing dari dunia luar. Saya tiada boleh
keluar ke dunia itu lagi bila tiada serta dengan seorang suami, seorang
laki-laki yang asing sama sekali bagi kami, dipilih oleh orang tua kami untuk
kami, dikawinkan dengan kami, sebenarnya tiada setahu kami.” (Surat
Kartini kepada Zeehandelaar, 25 Mei 1899)
“Jalan kehidupan gadis
Jawa itu sudah dibatasi dan diatur menurut pola tertentu. Kami tidak boleh
mempunyai cita-cita. Satu-satunya impian yang boleh kami kandung ialah, hari
ini atau besok dijadikan istri yang kesekian dari seorang pria. Saya tantang
siapa yang dapat membantah ini. Dalam masyarakat Jawa persetujuan pihak wanita
tidak perlu. Ia juga tidak perlu hadir pada upacara akad nikah. Ayahku misalnya
bisa saja hari ini memberi tahu padaku: Kau sudah kawin dengan si anu. Lalu aku
harus ikut saja dengan suamiku. Atau aku juga bisa menolak, tetapi itu malahan
memberi hak kepada suamiku untuk mengikat aku seumur hidup tanpa sesuatu
kewajiban lagi terhadap aku. Aku akan tetap istrinya, juga jika aku tidak mau
ikut. Jika ia tidak mau menceraikan aku, aku terikat kepadanya seumur hidup.
Sedang ia sendiri bebas untuk berbuat apa saja terhadap aku. Ia boleh mengambil
beberapa istri lagi jika ia mau tanpa menanyakan pendapatku. Dapatkah keadaan
seperti ini dipertahankan, Stella?” (surat Kartini kepada Stella
Zeehandelaar, 6 November 1899)
“Mengapa kami
ditindas? Itu membuat kami memberontak. Mengapa kami harus mundur? Mengapa
sayap kami harus dipotong? Tak lain karena tuduhan dan fitnah orang-orang
kerdil yang berpandangan picik. Untuk memuaskan orang-orang macam itulah kami
harus melepaskan cita-cita kami. Andaikan betul-betul perlu, benar-benar tidak
dapat dielakkan, kami akan tunduk. Namun kenyataannya tidak demikian.
Segala-galanya berkisar pada pendapat umum. Semua harus dikorbankan untuk itu.
Dikatakan: Orang akan bilang ini atau bilang itu, kalau kami lakukan apa yang
kami lakukan dengan seluruh jiwa kami. Dan siapakah orang-orang itu? Dan untuk
orang-orang macam itu kami harus menekan keinginan kami, harus membunuh
cita-cita kami, dan mundur kembali ke alam gelap.” (Kartini, 1901)
“Lalu akan saya
robohkan rintangan-rintangan yang dengan bodoh telah dibangun untuk memisahkan
kedua jenis. Saya yakin, kalau ini sudah terlaksana, akan banyak manfaatnya,
terutama untuk pria. Saya tidak percaya bahwa pria yang berpendidikan dan
mempunyai sopan santun akan sengaja menghindari pergaulan dengan wanita-wanita
yang berpendidikan dan berpandangan setaraf dengan mereka…”
Tentang Ibu Pertiwi
Dalam kebudayaan kita
sering disebut-sebut Ibu Pertiwi. Bagi saya Ibu Pertiwi bukanlah suatu dewi.
Tetapi apabila kita hendak melambangkan sumber kekuatan dari perlambang itu,
marilah kita memandang sumber-sumber yang nyata, yang kongkrit, dalam diri
beratus-ratus, beribu-ribu ibu, yang dengan penuh ketekunan mengasuh, menjaga,
dan memungkinkan kita memberikan darma bakti kepada nusa dan bangsa, kepada
tanah air yang kita cintai bersama Ibuku berlalu setelah melaksanakan sumbangsihnya
sampai sudah lanjut umurnya. Berlalu dengan mewariskan kemesraan dan kecintaan.
Berlalu dengan meninggalkan pesan.
Kita akan meninggalkan
tempat ini mungkin dengan tambahan tekad untuk menghargai ibu-ibu yang masih
dan yang akan melaksanakan panggilan hidupnya. Mudah-mudahan hal ini merupakan
sumbangsih yang kecil dari keluarga kami untuk kekuatan, persatuan dan kesatuan
bangsa dan negara, yang sama-sama kita tegakkan dan sama-sama kita cintai.
Kami banggakan
kesederhanaan Ibu, yang tetap berhasil menciptakan tazim kami dengan cara
beliau sendiri, sehingga dengan keyakinan kami masing-masing yang beliau selalu
hormati, kami mempunyai keleluasaan untuk berbakti. Inilah kekuatan dan
kekayaan yang kiranya subur di tanah air kita yang sama-sama kita bina dan
jaga.
Kesederhanaan saya
tonjolkan, karena pesan yang dapat diambil ialah: Dengan kesempatan dan
perlengkapan kita yang lebih banyak daripada yang dimiliki Ibu, maka diharapkan
dari kita semua peningkatan dari apa yang dicapai oleh beliau.” (R.A.
Kartini)
Tentang Peranan
Wanita sebagai Pendidik
“Siapakah yang akan
menyangkal bahwa wanita memegang peranan penting dalam hal pendidikan moral
pada masyarakat. Dialah orang yang sangat tepat pada tempatnya. Ia dapat
menyumbang banyak (atau boleh dikatakan terbanyak) untuk meninggikan taraf
moral masyarakat. Alam sendirilah yang memberikan tugas itu padanya.
Sebagai seorang ibu,
wanita merupakan pengajar dan pendidik yang pertama. Dalam pangkuannyalah
seorang anak pertama-tama belajar merasa, berpikir dan berbicara, dan dalam
banyak hal pendidikan pertama ini mempunyai arti yang besar bagi seluruh hidup
anak…”
“Tangan ibulah yang
dapat meletakkan dalam hati sanubari manusia unsur pertama kebaikan atau
kejahatan, yang nantinya akan sangat berarti dan berpengaruh pada kehidupan
selanjutnya. Tidak begitu saja dikatakan bahwa kebaikan ataupun kejahatan itu
diminum bersama susu ibu. Dan bagaimanakah ibu Jawa dapat mendidik anak kalau
ia sendiri tidak berpendidikan?”
“Hanya sekolah saja
tidak dapat memajukan masyarakat. Lingkungan keluarga (orang tua) harus
membantu juga. Malahan lebih-lebih dari lingkungan keluargalah yang seharusnya
datang kekuatan mendidik. Ingatlah! Keluarga (orang tua) dapat memberikan
pengaruhnya siang-malam, sedang sekolah hanya beberapa jam saja…”
“Binalah mereka
(putri2 bangsawan) menjadi ibu2 yang pandai, cakap dan sopan. Mereka akan giat
menyebarkan kebudayaan di kalangan rakyat. Sadar akan panggilan moral dalam
masyarakat mereka akan menjadi ibu2 yang penuh kasih sayang, pendidik yang baik
dan berguna bagi masyarakat yang memerlukan bantuan dalam segala bidang.” (Berikanlah
Pendidikan Kepada Bangsa Jawa *baca: Indonesia - Nota R.A. Kartini tahun 1903
yang dipublikasikan melalui berbagai surat kabar.)
Tentang Emansipasi
“Akan datang juga
kiranya keadaan baru dalam dunia bumiputra, kalau bukan oleh karena kami, tentu
oleh orang lain, kemerdekaan perempuan telah terbayang-bayang di udara, sudah
ditakdirkan…” (Surat R.A. Kartini kepada temannya Zeehandelaar, 9
Januari 1901)
“Bukan hanya suara
dari luar saja, suara yang datang dari Eropah yang beradab, yang hidup kembali
itu, yang datang masuk ke dalam hati saya, yang jadi sebab saya ingin supaya
keadaan yang sekarang ini berubah. Pada masa saya masih kanak-kanak, ketika kata
EMANSIPATIE belum ada bunyinya, belum ada artinya bagi telinga saya, serta
karangan dan kitab tentang pasal itu masih jauh dari jangkauan saya, telah
hidup dalam hati saya suatu keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri.
Keadaan sekeliling saya memilukan hati, menerbitkan air mata karena sedih yang
tidak terkatakan, keadaan itulah yang membangunkan keinginan hati saya itu. Dan
karena suara yang datang dari luar yang tiada putus-putusnya sampai kepada
saya, keras makin keras jua, maka bibit yang ada dalam hati saya, yaitu
perasaan yang merasakan duka nestapa orang lain yang amat saya kasihi,
tumbuhlah, sampai berurat berakar, hidup subur serta dengan rindangnya.” (Surat
R.A. Kartini kepada temannya Zeehandelaar, 25 Mei 1899)
Tentang Pergolakan Batin
dan Semangat
“Siapa yang melihat
atau menduga dahsyatnya pergolakan yang menggelora dalam batin gadis remaja
ini? Tidak ada seorangpun yang dapat menduganya. Ia menderita seorang diri.
Tidak ada orang tua atau saudara yang menduga apa yang bergolak dalam hatinya,
dan memberi simpatinya kepadanya. Dimanakah ia akan dapat meletakkan kepalanya
yang capek ini dan melepaskan tangis kesedihannya?”
“Memang suatu
pekerjaan yang seolah-olah tak mungkin dapat dikerjakan! Tetapi siapa tidak
berani, takkan menang! Itulah semboyanku. Maka ayo maju! Bertekad saja untuk
mencoba semua! Siapa nekad, mendapat tiga perempat dari dunia!”
Tentang Para Pelopor Zaman
“Pada jaman manapun
dan dalam bidang apapun, kaum pelopor selalu mengalami rintangan-rintangan
hebat. Itu kami sudah tahu. Tetapi betapa nikmatnya memiliki suatu cita-cita.
Suatu panggilan. Katakanlah kami ini orang-orang gila… Atau apa saja… Tetapi
kami tidak dapat berbuat lain. Kami tidak berhak untuk tinggal bodoh, bagaikan
orang-orang yang tidak berarti. Keningratan membawa kewajiban.” (Kartini,
awal 1900)
Tentang Cita-cita
Menjadi Guru
“Karena saya yakin
sedalam-dalamnya bahwa wanita dapat memberi pengaruh besar kepada masyarakat,
maka tidak ada yang lebih saya inginkan daripada menjadi guru, supaya kelak
dapat mendidik gadis-gadis dari para pejabat tinggi kita. O, saya ingin sekali
menuntun anak-anak itu, membentuk watak mereka, mengembangkan pikiran mereka
yang muda, membina mereka menjadi wanita-wanita masa depan, supaya mereka kelak
dapat meneruskan segala yang baik itu. Masyarakat kita pasti bahagia kalau
wanita-wanitanya mendapat pendidikan yang baik… Di dunia wanita kita terdapat
banyak derita yang pedih. Penderitaan yang telah saya saksikan waktu saya masih
kanak-kanak itulah yang membangkitkan keinginan saya membawa arus yang tidak
mau membenarkan saja keadaan-keadaan yang kolot.” (Kartini, 1901)
“Kami sekali-kali
tidak ingin membuat murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropah atau
orang Jawa-Eropah. Dengan pendidikan bebas kami bermaksud pertama-tama membuat
orang Jawa menjadi orang Jawa sejati, yang menyala-nyala dengan cinta dan
semangat terhadap nusa bangsanya, terbuka dengan mata dan hati terhadap
keindahan serta kebutuhannya. Kami hendak memberikan kepada mereka segala yang
baik dari kebudayaan Eropah, bukan untuk mendesak atau mengganti keindahan
mereka sendiri, melainkan untuk menyempurnakannya.”
Tentang Ningrat dan
Kebangsawanan
“Sebelum kau
menanyakan, aku tidak pernah memikirkan bahwa aku, seperti katamu, adalah
keturunan ningrat tinggi. Apakah aku seorang putri raja? Bukan. Raja terakhir
yang menurunkan kami, mungkin sudah 25 turunan yang lalu. Ibuku masih
berhubungan dekat dengan raja-raja Madura. Buyut beliau masih memerintah
sebagai raja dan neneknya adalah puteri yang berhak menggantikan raja. Bagiku
hanya ada dua jenis kebangsawanan: kebangsawanan jiwa (akal) dan kebangsawanan
budi (perasaan). Menurut perasaanku tidak ada yang lebih gila dan menggelikan
daripada orang-orang yang membanggakan keturunannya. apakah sebenarnya jasanya
dilahirkan sebagai seorang bangsawan? Dengan otakku yang kecil ini aku tidak
dapat menangkapnya…”
“Apa gunanya kaum
ningrat yang dijunjung tinggi itu bagi rakyat, kalau mereka dipergunakan oleh
Pemerintah untuk memerintah rakyat? Sampai sekarang tidak ada, atau sangat
sedikit, yang menguntungkan bagi rakyat. Lebih banyak merugikan - kalau kaum
ningrat menyalahgunakan kekuasaannya. Ini tidak jarang terjadi. Keadaan
demikian itu harus berubah. Kaum ningrat harus pantas untuk bisa dijadikan
pujaan rakyat; sehingga akan banyak mafaatnya untuk rakyat. Pemerintah harus
membawa kaum ningrat ke arah itu. Dan satu-satunya jalan ialah memberi
PENDIDIKAN yang mantap, yang tidak semata-mata didasarkan pada pengembangan
intelektuil, melainkan terutama pada pembinaan watak… Banyak sekali contoh yang
membuktikan bahwa tingkat kecerdasan otak yang tinggi sama sekali bukan jaminan
akan adanya keagungan moral.”
Tentang Kepedulian Kartini pada Rakyatnya
“Tak setetes pun hujan
turun dalam tiga minggu ini. Panasnya luar biasa terik. Kami tak pernah
mengalami sepanas ini. Bahkan tidak pada musim kemarau yang terkering pun.
Ayah sampai putus asa. Bibit pada di sawah telah menyoklat. O, kasihan! Kasihan
rakyatku! Selama ini rakyat di daerah kami selalu kecukupan pangan sehingga
mereka tidak pernah mengenal adanya bencana kelaparan. Akan tetapi apa yang
belum terjadi bisa saja terjadi. Seperti pada kekeringan di musim hujan ini
yang sudah merupakan pertanda buruk. Apa yang akan terjadi kalau kekeringan dan
panas yang terik ini berlangsung terus? Sejak beberapa hari ini tiap pagi
betiup angin yang biasanya baru datang di bulan Mei. Pancaroba-kah ini? Atau
musim kemarau telah bermula?
Ngeri! Kami semua tak
berdaya. Betapa sedihnya melihat bibit yang ditanam menyoklat dan layu. Dan
kami tak dapat berbuat apa-apa. Manusia tak bisa membuat air.
Kirimkan pada kami dingin dari negerimu. Nyonya boleh mengambil panas dari sini seberapa Nyonya mau.” (Surat Kartini kepada Nyonya Nellie van Kool)
Kirimkan pada kami dingin dari negerimu. Nyonya boleh mengambil panas dari sini seberapa Nyonya mau.” (Surat Kartini kepada Nyonya Nellie van Kool)
“Karena musim panas
yang berkepanjangan ini, hampir seluruh panen gagal di daerah ini. Daerah
sekitar Grobogan paling menderita di mana bencana kelaparan mulai merajalela.
Di Demak, di mana 26 ribu bahu sawah gagal dipanen, serangan kolera telah pula
mengganas. Sementara orang-orang dengan cemas menunggu datangnya musim hujan
yang akan membanjiri daerah ini. Sungguh tanah yang malang! Pada musim kemarau
ia gersang dan pada musim hujan ia kebanjiran.” (Surat Kartini kepada
Stella)
Tentang Kebanggaan
Kartini atas Kerajinan dan Kesenian Rakyatnya
“Hura! Untuk kesenian
dan kerajinan rakyat kami! Hari depannya sudah pasti akan cemerlang. Aku sulit
untuk mengatakan betapa girang, terima kasih dan beruntungnya kami di sini.
Kami sangat bangga
atas rakyat kami. Mereka yang kurang dikenal dan karena itu juga kurang
dihargai. Hari depan kaum seniman Jepara sekarang sudah terjamin. Tuan
Zimmerman tak habis-habisnya memuji hasil karya para seniman rakyat berkulit
coklat yang sering dihina ini. Para pengrajin kami di sini baru saja mendapat
pesanan besar dari Oost en West untuk perayaan hari Sinterklaas.
Kami menikmati
anugerah ini. Kini seniman-seniman yang cakap itu dapat menuangkan
gagasan-gagasan mereka yang indah. Gagasan yang puitis pun dapat terjelma dalam
bentuk-bentuk yang indah, garis-garis yang ramping, mengombak dan melenggok
dalam warna-warna cemerlang.” (Surat Kartini kepada E.C. Abendanon,
anak dari Mr. J.H. Abendanon)
Tentang Kecintaan
Kartini Menjadi Bagian dari Rakyatnya
“Untuk pertama kali
namaku disebut di muka umum bersama rakyatku. Di situlah tempat namaku
seterusnya. Aku bangga Stella, bahwa namaku disebut senafas dengan rakyatku!”
Rekomendasi Kami;
Mengingat Kembali RA. Kartini; Pejuang Emansipasi Wanita - [klik di sini]
RA. Kartini dan Emansipasi Wanita Zaman Now - [klik di sini]
Tentang Kesadarannya akan Adanya Tuhan
Mengingat Kembali RA. Kartini; Pejuang Emansipasi Wanita - [klik di sini]
RA. Kartini dan Emansipasi Wanita Zaman Now - [klik di sini]
Tentang Kesadarannya akan Adanya Tuhan
“… Banyak sekali
kejadian pada waktu akhir2 ini menunjukkan bahwa manusia hanya menimbang2.
Tuhanlah yang akhirnya menetapkan. Semua itu merupakan peringatan kepada kita
semua yang berpandangan picik supaya kita jangan sombong: jangan mengira bahwa
kita mempunyai ‘kemauan sendiri’. ada suatu Kekuasaan yang lebih tinggi dan
lebih besar daripada semua kekuasaan di dunia. Ada Kemauan yang lebih kuat dan
lebih kuasa daipada semua kemauan manusia dijadikan satu. Celakalah orang yang
membusungkan dadanya dan mengira bahwa kemauannya adalah sekuat baja! Hanya ada
satu kemauan yang boleh dan harus kita miliki, yaitu kemauan untuk mengabdi
kepada Kebaikan!… Sekarang kami memegang erat tangan Dia. Dia-lah yang
mengarahkan kami, menilai dengan penuh kasih sayang… Di situ GELAP MENJADI
TERANG, taufan menjadi angin tenang. Sebetulnya semua di sekitar kami masih
sama saja, tetapi bagi kami telah tidak sama lagi. Telah terjadi perubahan dai
dalam kami yang menyinari segala2nya dengan cahaya-Nya. Kami merasa tenang dan
damai dalam jiwa kami… Kami selalu memohon agar diberi kekuatan untuk memikul
baik duka maupun suka. Terutama dalam suka, sebab dalam bersuka ria terdapat
godaan… Kami tak dapat mengatakan betapa besar terima kasih kami bahwa kami
telah berkenalan dengan Nyonya van Kol…”
“… Tahukah kau siapa
yang membuka tabir di muka mata kami? Ialah: Nellie van Kol. Tetapi yang sekarg
menuntun kami untuk menemukan Tuhan ialah Ibu. Sungguh bodoh kami ini.
Sepanjang hidup kami memiliki mutiara segunung di samping kami, tetapi kami
tidak melihatnya, tidak mengetahuinya. Sungguh, betul2 bodoh dan sok tahu kami
ini. Dan kau sekarang tak dapat membayangkan betapa bahagia Ibu dan para
sesepuh lainnya, melihat perubahaan hidup kejiwaan kami. Tak satu kata celaan
keluar dari mulut mereka. Hanya: ‘Tuhan baru sekarang berkenan membuka hati
kalian. Bersyukurlah!”. (Surat Kartini kepada anak Abendanon)
Tentang Angan-angan
Kartini
“… Semoga melalui
banyak sekali penderitaan dan kesedihan, kami berhasil menciptakan sesuatu.
Bagi rakyat kami. Terutama yang bermanfaat bagi kaum wanita kami - bagaimanapun
kecilnya. Andaikata ini pun tidak terlaksana, semoga penderitaan dan perjuangan
kami berhasil menarik perhatian khalayak ramai terhadap keadaan-keadaan yang
perlu diperbaiki. Dan andaikata itu pun tidak dapat kami capai, wahai,
setidaknya kami telah berusaha berbuat baik, dan kami yakin benar bahwa air mata
kami, yang kini nampaknya mengalir sia-sia itu, akan ikut menumbuhkan benih
yang kelak akan mekar menjadi bunga-bunga yang akan menyehatkan
generasi-generasi mendatang.”
Demikian sajian informasi mengenai Inilah Cuplikan Tulisan RA. Kartini yang Inspiratif dan Bersejarah
yang dapat disajikan pada kesempatan ini.
Semoga Bermanfaat !!!
Labels:
Sosok dan Motivasi
Thanks for reading Inilah Cuplikan Tulisan RA. Kartini yang Inspiratif dan Bersejarah. Please share...!
0 Komentar untuk "Inilah Cuplikan Tulisan RA. Kartini yang Inspiratif dan Bersejarah"
Your comment for me, please!